Muamalah
Permasalahan nafkah suami.
By Ustaz Muhammad Abduh Negara - 05/07 dan 01/10 2020
Kalau kita punya gaji 3 juta/bulan, dan tidak ada penghasilan
lain, maka pos pengeluaran mana yang kita dulukan?
1. Nafkah diri sendiri serta anak dan istri, terkait kebutuhan
primer dan sekunder (sandang, pangan, papan, pendidikan,
listrik/air/bbm/dan semisalnya)?
2. Zakat 2,5%?
3. Pemberian untuk orangtua dan mertua?
4. Sedekah/infaq
untuk masjid/pesantren?
5. Hobi, wisata dan kebutuhan tersier?
al-Jawab:
√ Yang utama adalah nafkah pada diri sendiri, kemudian istri dan
anak, karena Syariat menjadikan nafkah mereka sebagai
tanggungan/kewajiban laki-laki yang menjadi kepala keluarga.
√
Zakat 2,5%? Ini tidak wajib, karena penghasilan 3 juta per bulan
itu belum mencapai nishab zakat. Bahkan pada sebagian kategori,
masih masuk kategori miskin yang boleh menerima zakat.
√ Prioritas kedua adalah nafkah untuk keluarga dekat yang faqir
atau miskin. Jika orangtua memerlukan, maka nafkah pada orangtua
diprioritaskan, setelah nafkah diri dan anak istri.
√ Ingat,
kedudukan mertua dengan orangtua kandung itu berbeda. Yang
menyamakannya, pakai standar perasaan, bukan standar fiqih.
√ Jika masih ada kelebihan, baru untuk sedekah/infaq
masjid/pesantren/yayasan anak yatim/dan semisalnya. Bagi yang
berpenghasilan kecil, porsi ini diletakkan di akhir, bukan di
awal, seperti ajaran para motivator.
√ Hobi, wisata dan kebutuhan tersier menjadi yang paling akhir,
jika yang di atas semua sudah terpenuhi. Jangan sampai kepala
keluarga sibuk dengan hobi, sedangkan untuk makan anak istri
kekurangan.
Apakah istri harus mengontrol pemasukan dan pengeluaran suami?
Apakah suami harus izin kepada istri jika ingin menafkahi
orangtuanya sendiri?
1. Istri tak punya hak mengontrol pemasukan dan pengeluaran suami.
Haknya --dan kewajiban suami-- adalah suaminya menafkahinya pada
taraf yang cukup, sesuai kemampuan suami. Jika itu sudah
terpenuhi, sudah cukup. Tak ada ceritanya, semua penghasilan dan
gaji suami dikuasai istri.
Jika pun dibuat kesepakatan, yang
mengatur pengeluaran dari gaji dan penghasilan suami adalah istri,
itu hanya soal manajemen keuangan rumah tangga saja, bukan karena
"harta suami adalah harta istri".
2. Suami tak perlu izin istri untuk menafkahi orangtuanya sendiri.
Namun ini dengan catatan, nafkah pada istri dan anak-anaknya sudah
tercukupi, karena dari sisi prioritas, nafkah pada istri dan anak
harus didahulukan daripada nafkah pada orangtua. Karena itu saya
sempat mengkritik komentar seseorang yang menyatakan, nafkah
orangtua lebih utama daripada kepada anak dan istri. Ini
keliru.
Dari sini, jika istri sudah mendapat nafkah yang
cukup dari suami, ia tak berhak mengatur-atur suami, ke siapa saja
ia memberikan hartanya (selama halal tentunya), apalagi kepada
orangtuanya sendiri.
Salah satu kesalahan yang ada pada sebagian orang: menyamakan
orangtua dengan mertua.
1. Menganggap birrul walidayn yang khas pada orangtua, berlaku
juga pada mertua. Padahal beda. Kepada mertua, ya perbuatan baik
secara umum saja, sebagaimana berbuat baik pada semua orang. Kalau
pun mau ditambah, mungkin penghormatan karena ia adalah orangtua
pasangan kita.
2. Nafkah atau pemberian kepada orangtua dan mertua harus
sama-sama ada, bahkan kalau bisa harus sama besarnya. Padahal
tuntunan fiqih Islam, orangtua (apalagi jika ia faqir) termasuk
yang wajib dinafkahi oleh anak, setelah ia memenuhi nafkah untuk
dirinya, istrinya dan anak-anaknya yang masih kecil. Adapun untuk
mertua, tidak ada kewajiban semacam itu. Yang berkewajiban adalah
pasangan kita, bukan kita, karena mertua kita adalah
orangtuanya.
Source:
-
facebook.com/muhammad.abduh.negara/posts/151138523239455
-
facebook.com/muhammad.abduh.negara/posts/151136879906286
-
facebook.com/muhammad.abduh.negara/posts/176323124054328
-
facebook.com/muhammad.abduh.negara/posts/179325773754063